ASAL MULA TEATER INDONESIA

1511
awal kedatangan Portugis
     Pendaratan Portugis dan kemudian menyebarkan kesenian Keroncong  

Awal kedatangan Belanda
1607  
     Pendaratan Belanda dan membuat permukiman di Ambon 1619 Batavia menjadi pusat 1620 Pertunjukan teater Boneka (Marionate) sebagai kesenian dari portugis 1629 Pementasan lakon “Raja Swedia & Raja Denmark (Kisah tentang Pengepungan Batavia oleh Sultan Agung)
 
1757
     Perizinan seorang perancis untuk mendirikan bangunan komedi (teater) dan melakukan pementasan-pementasan yang sukses besar.
1760
     Bangunan Komedi dihancurkan karena mendapat tantangan dari Belanda
1780
     Pendirian gedung sandiwara di utara Batavia tetapi mendapat pertentangan dari gereja
                                        1781
Gedung Sandiwara Pertama
    
Gedung sandiwara dihancurkan disebabkan pelarangan mengadakan pertunjukan pada hari kebaktian dan izin dicabut


1812
     Indonesia dikuasai oleh Inggris, pada zaman itu Inggris membangun gedung kesenian darurat. Pada tanggal 17 Oktober 1814 diadakanlah pertunjukan teater “The Heir at Law”

1816
     Belanda merebut kuasa Inggris atas Indonesia. Pertunjukan “Hamlet” gi gedung tersebut diserbu oleh belanda.

Perkembangan Teater Modern

     Latar belakang sosial dan situasi pada suatu masa menjadi sebuah hal utama bagi perkembangan teater di Indonesia. Teater modern di Indonesia adalah produk-produk orang kota, diciptakan oleh penduduk kota untuk penduduk kota pula. Pada dasarnya bentuk teater modern merupakan hasil dari pengaruh kesenian modern Barat di kota-kota. Ada pun ciri-ciri dari bentuk teater modern secara garis besar dan mendasar adalah sebagai berikut:
Gedung teater
Nusa Dua Bali


Panggung teater prosceneum terbuka Blitar

     
     1. pertunjukan telah dilakukan di tempat khusus, yakni      sebuah bangunan panggung prosceneum yang memisahkan penonton dengan pemain,
     2. penonton harus membayar,
     3. fungsinya adalah sebagai hiburan dalam segala gradasinya,
     4. unsur cerita erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa sezaman,
     5. adanya idiom-idiom modern seperti adanya intermeso, pemimpin pertunjukan, lagu-lagu keroncong atau Melayu dengan peralatan musik modern,
     6. bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu-pasar, Melayu-tinggi atau bahasa indonesia, yaitu bahasa yang merupakan lingua franca kaum penduduk kota pada masanya,
     7. adanya pegangan cerita tertulis atau bahkan naskah-naskah drama yang tertulis.
AdtBoen S. Oemarjat dan naskahnyad
     Terdapat periodisasi dalam mengkalsifikasikan perkembangan teater modern di Indonesia. Boen S. Oemarjati telah membuat periodisasi untuk sastra drama Indonesia sebagai berikut:
     1. periode Kebangkitan (1926-1942)
     2. periode Pembangunan (1942-1945)
     3. periode 1950-1963
     Dalam hal itu Boen memusatkan diri kepada unsur sastra dramanya, dan penelitiannya dilakukan pada akhir 1960-an. Sedangkan dalam sumber yang didapat, penulis buku sumber yang dibaca, mengemukakan periodisasi sementara yang berbeda, seperti berikut:
     1. masa Perintisan Teater Modern (1885-1925)
        a. teater Bangsawan (1885-1925)
        b. teater Stamboel (1891-1902)
        c. teater Opera (1906-1925)
     2. masa Kebangkitan Teater Modern (1925-1941)
        a. teater Miss Riboet’s Orion (1925)
        b. teater Dardanella (1926-1936)
        c. awal Teater Modern Indonesia (1926)
     3. masa Perkembangan Teater Modern (1942-1970)
        a. teater Zaman Jepang
        b. teater Tahun 1950-an
        c. teater Tahun 1960-an
     4. masa Teater Mutakhir (1970-1980)

     Dalam buku Boen S Oemarjati dinyatakan bahwa teater tertua di Indonesia dimulai oleh Komedi Stambul pada tahun 1891. Istilah “Stamboel” sendiri baru muncul setelah adanya rombongan-rombongan teater yang biasa disebut “Bangsawan”.asal usul teater ini ternyata dari Penang, Malaysia Pada 1870-an di Penang, Malaysia, bermain rombongan teater dari India, dengan memergunakan bahasa India (Urdu?), yang oleh penduduk Malaysia setempat dinamai “Wayang Parsi”, nama teater itu sendiri adalah “Mendu”. Rahmah Bujang merinci ciri-ciri dari teater bangsawan ini berdasarkan pendapat Brandon sebagai berikut:

     1. cerita lakon terdiri dari banyak episode, sehingga cerita berjalan agak lamban,
     2. unsur cerita pokok dibumbui oleh unsur-unsur humor, farce, dan melodrama,
     3. cerita pokok 40% terdiri dari hikayat-hikayat lama Melayu atau cerita –cerita lama setempat, 30% terdiri dari cerita-cerita sezaman, dan masing-masing 10% cerita diambil dari Arab, Hindu, serta Cina,
     4. penyajian cerita selalu memunyai pola yang sama atau mirip,
     5. seting cerita sebagian besar dari lingkungan-lingkungan raja-raja dan bangsawan,
     6. cerita memiliki tujuan didaktis,
     7. karakter-karakter yang disuguhkan bersifat “stock type”,
     8. permainan di panggung dilakukan secara improvisasi,
     9. pertunjukan merupakan campuran dialog, nyanyian, dan tarian.
     
August Mahieu
     Adapun komedi Stamboel yang didirikan oleh Augus Mahieu, seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya (1860-1906), sekitar 1891 telah menjadi satu diantara yang pada suatu saat memengaruhi perkembangan teater di Indonesia.
Ciri-ciri pertunjukan Stamboel adalah
     1. Sebelum permainan dimulai, para pelaku mengenalkan diri terlebih dahulu kepada penonton,
     2. pembagian babak atau episode cerita dilakukan amat longgar,
     3. jalan cerita dari pertunjukannya bersifat lamban, sehingga pertunjukan berjalan selama 2 atau 3 malam berturut-turut,
     4. adegan gembira atau sedih dibentuk dengan nyanyian, bukan dialog.
     Pada 1906 August Mahieu mengundurkan diri ke Bumiayu dan tidak lama meninggal dunia. Sekitar 1908 dikalangan masyarakat Cina timbul “Opera Derma” atau Tjoe Toe Hie. Hadirnya perkumpulan teater sosial itu di Vettervraden oleh para Cina-Peranakan, telah mengangkat sebuah istilah tentang teater amatur. Amatur berarti tidak mengandalkan improvisasi di atas panggung melainkan telah menggunakan naskah-naskah tertulis, tidak mengandalkan keuntungan dari pertunjukan seperti yang dilakukan oleh rombongan teater profesional melainkan memiliki tujuan untuk pemberdayaan dan pengembangan minat terhadap sastra dan drama.

Kebangkitan Teater Modern Indonesia
     Mamak Pushi, Jaafar, August Mahieu, dan Sim Tek Bie adalah pemimpin-pemimpin rombongan teater profesional yang berasal dari lingkungan kurang terpelajar. Mereka adalah pemilik modal yang hendak menjalankan modalnya lewat “perdagangan” teater baru. Pada 1925 rombongan Orion terbentuk berkat T.D.Tio Jr atau Tio Tik Djien, yang menanamkan modalnya. Diantara rombongan teater waktu itu, yang pula ikut mengawali perkembangan teater modern di Indonesia, adalah The Union Dahlia Opera dibawah pimpinan Teungku Katon of Medan, The Malay Opera Of Malacca yang dipimpin oleh Wan Yet al Kaf sejak 1915 di Malaysia. Tidak lama kemudian, pada 21 Juni 1926, Boen S Oemarjati mencatat bahwa kelompok teater Dardanella lahir di tengah-tengah masa kejayaannya Orion. Berdiri di kota Sidoarjo. Pendirinya ialah Willy Klimanoff alias A. Pedro, seorang Rusia Putih kelahiran Penang. Dan pada 1931 antara Orion dengan Dardanella terjadi persaingan yang sangat keras. Namun yang terjadi dalam persaingan itu, Orion kalah, dan pada 1934, penulis handal dari Orion, Nyoo Cheong Seng, bersama istrinya, aktirs Fifi Young alias Tan Kim Nio, menyeberang kepihak Dardanella. Masa kejayaan Dardanella berlangsung sekitar 10 tahun. Pada 1935 Dardanella mengadakan perjalanan keliling Asia (Tour d’orient) untuk memertunjukan tarian-tarian Indonesia dan Nyanyian-nyanyian. Kemudian dilanjutkan ke Eropa. Setelah itu perkumpulan Dardanella pecah dan bubar.
Awal Teater Modern

     Teater baru yang muncul dikalangan masyarakat kota Indonesia dalah teater profesional. Sejak dari rombongan teater Jafaar dalam 1880-an, teater Stamboel milik August Mahieu pada 1891, teater Opera Soei Ban Lian pada 1911, teater Miss Riboet’s Orion pada 1925, dan teater Dardanella pada 1925, sampai sekarang. Sementara itu muncul pula rombongan-rombongan teater insidental yang berkembang dalam organisasi-organisasi sosial, berupa teater amatur atau teater penggemar atau teater dilletant. Menurut penulis sastra Melayu-Cina, Lauw Giok Lan, pada 1913, dapat disimak, dikalangan kaum terpelajar pribumi, terutama para student sekolah Dokter Jawa dan para calon pangreh Praja berkembang teater amatur. Sehingga yang terjadi adalah bahwa penontonnya pula adalah bukan penonton umum seperti yang terjadi pada kelompok teater profesional, walaupun ada sedikit kemungkinan, melainkan kaum-kaum yang pula terpelajar. Berikut ini adalah perbedaan antara teater profesional dengan teater amatur, 1. teater profesional merupakan kelompok teater tetap yang bekerja untuk mencari nafkah, sedangkan teater amatur merupakan rombongan insidental, 2. teater profesional lebih melayani “selera massa”, sedangkan teater amatur lebih memunyai idealisme baik dalam arti moral maupun estetik daripada memikirkan efek dagangannya, 3. teater prodfesional dimainkan oleh orang-orang yang kurang berpendidikan, sedangkan teater amatur justru dimainkan oleh orang-orang yang relatif berpendidikan tinggi, 4. teater profesional dapat bermain tanpa naskah drama, sedangkan teater amatur harus selalu dengan naskah drama sebagai hafalannya, 5. sasaran penonton teater profesional adalah penduduk kota yang “umum” yang kurang terpelajar, sedangkan penonton teater amatur adalah orang-orang dari lingkungan kaum terdidik. Setelah Jepang mendarat di Indonesia pada 8 Maret 1942, perteateran di Indonesia mengalami kejadian yang berarti sekaligus buruk. Pada masa-masa itu semua rombongan teater yang ada menjadi perhatian penting pemerintahan Jepang, hal itu dikarenakan adanya ketakutan kekuatan-kekuatan pemberontakan terhadapnya yang terselubung dalam rombongan itu. Oleh karena itu pula, Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan atau Keimin Bunka shidosho pada 1 April 1943. Tujuannya adalah untuk dapat mengontrol setiap pergerakan dari para budayawan pribumi. Sanusi Pane ditunjuk untuk menjadi ketua. Akan tetapi tidak lama setelah itu, di Jakarta pada 6 Oktober 1943, dibentuklah Pusat Kesenian Indonesia oleh beberapa seniman Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengembangkan seni Indonesia Baru dengan memperbaiki kesenian daerah, dan ketuanya adalah pula Sanusi Pane. Semenjak itu pula rombongan teater baru bermunculan, sebagai bukti adanya semangat untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan rombongan teater sebelumnya menuju ke teater modern, seperti Bintang Surabaya pada Desember 1942 yang dipimpin oleh Fred Young, rombongan Dewi Mada pada 1943, rombongan Warna Sari pada 1943, rombongan Irama Masa yang merupakan pecahan dari Bintang Surabaya dibawah pimpinan Ali Yugo, rombongan Miss Ribut, dan yang lainnya, yang bergerak di jalur yang sama sebagai rombongan teater profesional. Untuk teater amtur bermunculan rombongan teater seperti rombongan teater Angkatan Muda Matahari pada 6 April 1943, rombongan Murni, rombongan Sandiwara Penggemar Maya, dan rombongan Reaksi Seni

0 komentar:

Posting Komentar